Refleksi Hari ke-10 Karantina Diri
- therryalghifary
- Mar 29, 2020
- 8 min read
Updated: Mar 30, 2020
Bismillahirrahmanirrahim Saya pernah mengalami masa-masa kebakaran hutan dan lahan di Riau, tepatnya di Kabupaten Bengkalis. Saat itu kemarau cukup panjang, berbulan-bulan tidak turun hujan, stok air tanah sangat terbatas, aliran sungai tidak lagi bisa diharapkan, di rumah-rumah persediaan air hujan menipis bahkan banyak yang telah kehabisan. Tanah di Bengkalis juga cukup unik, tidak seperti tanah biasanya, tanah gambut tidak cukup efektif memadamkan api jika dia digunakan untuk memadamkan api dengan cara menimbunnya. Tanah yg berongga membuat api tetap bisa hidup di bawah tanah gambut. Hal ini membuat usaha memadamkan kebakaran hutan dan lahan saat itu sangat sulit untuk dilakukan. Berkali-kali saya melihat lahan terbakar tanpa bisa melakukan banyak hal. Pernah suatu waktu saya melewati jalan yang kiri dan kanan jalannya adalah lahan yang sedang terbakar. Satu-satunya yang bisa dilakukan oleh orang-orang saat itu adalah membuat parit cukup besar dan lebar di titik tertentu, agar kebakaran tidak membesar dan menjalar ke lahan lainnya, selebihnya kita hanya bisa pasrah melihat api membakar apa saja yang ada di hadapannya. Dengan situasi seperti ini pula, prilaku satu orang sangat signifikan berpengaruh. Kalau seseorang teledor, maka dia dapat memicu kebakaran besar lainnya di lokasi baru. Saat itu seorang warga di dusunku membakar sampah rumah tangganya, karena dia tidak memastikan apinya betul-betul padam, terjadi kebakaran dekat rumah keluarga angkatku saat itu. Syukurnya di daerah itu lokasinya sangat dekat dengan pantai, sehingga ada stok air laut yang dapat digunakan untuk memadamkan kebakaran sebelum meluas ke rumah-rumah warga. Namun di lokasi lain tidak seberuntung tempatku, puntung rokok yang dengan teledor tidak dimatikan dan dilempar sembarangan bisa berakibat membumi hanguskan lahan yang begitu luas.

Mengalami fase masa-masa kekeringan dan kebakaran ini adalah salah satu fase kehidupan yang sangat berat saya jalani. Kesulitan air, ancaman kebakaran, dan bahaya asap untuk kesehatan mewarnai hari-hari itu. Melalui tulisan ini saya mencoba menganalogikan pengalaman ini, dengan situasi wabah virus Covid-19 yg terjadi saat ini. Siapa tahu darinya sedikit terpetik hikmah.
Belum ditemukannya anti virus covid-19, ibarat situasi kekeringan yang saya ceritakan di awal tulisan. kekeringan membuat tidak ada air yang bisa digunakan untuk memadamkan api. Virus ini ibarat sang api, dan ketiadaan air ibarat ketiadaan anti virus. virus ini menyebar luas tanpa ada anti virus, sehingga sulit sekali, mencegah penyebarannya. Orang yang daya tahannya cukup bagus mendapatkan gejala cukup ringan, berbeda dengan orang-orang yang terkategorisasi rentan, resikonya sampai meninggal dunia. Seperti halnya kebakaran yang saya saksikan, Beberapa pohon atau tumbuhan memang ada yang tidak habis terbakar, tergantung dari kekuatan dan daya tahan pohon tersebut, selebihnya yang kering dan mudah terbakar habis dilahap api.
Seperti yang kita ketahui bersama, karakter virus ini cukup unik, dia sulit untuk diidentifikasi, gejalanya mirip dengan flu biasa, bahkan beberapa kasus orang yang teridentifikasi positif tidak menunjukkan gejala sakit apa-apa, sedangkan penyebarannya sangat mudah terjadi, selain itu melakukan test kepada orang yang dicurigai terjangkit virus ini terlihat cukup rumit dan butuh waktu. Tidak seperti wabah virus lain yang bisa terlihat jelas. Misalnya, gangguan yang terlihat di kulit atau gangguan yang gejalanya berbeda dengan penyakit biasanya sehingga mudah untuk mengidentifikasikannya. Oleh karena itu jika mencoba menganalogikannya dengan kasus kebakaran, saya membayangkan fenomena virus covid-19 ini ibarat kebakaran yang intangible atau kebakaran tidak terlihat. Sifat kebakaran yang tidak terlihat ini membuat masyarakat cenderung tidak sadar dengan bahaya dan ancaman vius ini.
Kalau kasusnya kebakaran api seperti biasanya, masyarakat akan inisiatif bergotong royong untuk segera memadamkan apinya, juga mereka sadar kalau tidak dilakukan keluarga atau harta bendanya juga pasti akan terancam bahaya. Tidak perlu ada instruksi dari pemangku kebijakan, dengan sendirinya masyarakat akan melakukannya. Oleh karena itu, masyarakat waktu itu bergotong royong membuat parit untuk mencegah kebakaran meluas. Pada dasarnya strategi yang digunakan untuk mencegah penyebaran covid-19 bisa dianalogikan dengan usaha mencegah menyebarnya kobaran api dengan membuat parit. Usaha yang dilakukan utamanya adalah melakukan social/phisical distance yaitu menjaga jarak aman antara satu dengan lainnya, mengurangi interaksi dengan orang lain secara langsung, dan kalau bisa tinggal di rumah. Segala aktifitas kerja, belajar, dan ibadah dianjurkan dilakukan di rumah. Strategi ini ibarat membuat parit di konteks kebakaran, tujuannya untuk mencegah virus ini untuk menyebar ke orang lain, sehubungan sangat mudahnya virus ini menyebar dari interaksi satu orang yang positif terjangkit virus covid-19 ke orang lainnya. Hal ini penting dilakukan karena kalau ada yang terjangkit kita tidak punya anti virusnya. Jadi mencegah sebisa mungkin orang tidak terjangkit virus. Kita tidak punya air untuk memadamkan kebakaran. Rumitnya, karena penyebaran virus covid-19 ibarat kebakaran yang tak terlihat, banyak masyarakat yang tidak sadar bahkan tidak peduli dengan pentingnya usaha melakukan physical distance. Pemerintah dan bahkan organisasi dunia berusaha mati-matian mengkampanyekan dan membuat kebijakan terkait hal ini, namun sayangnya masih banyak juga yang tidak peduli Situasi seperti ini membuat kita sebagai masyarakat sering kali teledor, mirip dengan warga yang tidak sadar betul-betul memadamkan api pembakaran sampahnya, atau masyarakat yang dengan cueknya membuang batang rokoknya di lahan kering dan kekurangan air. Sampai hari ini masih banyak teman atau saudara-saudara kita yang berkumpul dan beraktifitas dengan santainya, masih ada ada saja pesta atau acara yang harus di bubarkan oleh kepolisian, kita masih beribadah di rumah-rumah ibadah sedangkan fatwa Ulama sudah tegaskan untuk menghindarinya khusunya di wilayah-wilayah yang tingkat penyebaran virusnya tinggi. Belum lagi para pekerja di kota-kota besar yang berencana mudik karena diberlakukannya WFH di kantor masing-masing. Berbagai ketidak sadaran dan keteledoran kita inilah yang berpotensi besar membuat wabah virus ini semakin meluas. Mengenai kenapa kita dilarang mudik? Perpindahan orang ke satu tempat ke tempat lain saat ini berpotensi menyebabkan meluasnya penyebaran virus covid-19 ke wilayah yang belum terjangkit. Ibarat kita dengan cueknya membuang bekas puntung rokok ke lahan kering yang belum terbakar. Larangan ini juga senada dengan hadis Rasulullah SAW terkait wabah sebagai berikut "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari) Merefleksikan hal ini sungguh menguatkan keyakinan dalam hati. Rasulullah SAW telah menunjukkan cara benar merespon situasi yang kita alami saat ini. Oleh karenanya buat teman-teman yang saat ini berada di wilayah statusnya sudah berbahaya, mohon dengan sangat untuk tidak pulang ke kampung halaman.
Di sisi lain, kondisi tanah gambut di cerita saya sebelumnya ibarat modal sosial kita saat ini mengahadapi covid-19. Apabila kekeringan dan kebakaran terjadi di wilayah yang bertanah gambut tentunya dampak kebakarannya pasti berbeda apabila terjadi di wilayah yang memiliki tanah biasanya. Lahan atau hutan di tanah gambut lebih rentan memiliki dampak kebakaran yang lebih besar. Beginilah membayangkan modal sosial yang kita miliki dalam menghadapi wabah virus Covid-19 ini. Fasilitas kesehatan seperti sarana dan prasarana yang terbatas, jumlah tenaga kesehatan kita sangat sedikit dengan persebaran yang tidak merata, serta kesiapan dana pemerintah untuk merespon situasi ini terbatas. Baru-baru ini saya melihat video penutupan akses keluar masuk bandara di Papua, alasannya mengurusi pasien sakit di Papua saja dokter di sana sudah kewalahan, apalagi kalau semakin banyak kasus positif covid-19 yang terjadi di sana. Langkah tegas pemerintah Papua segera menutup akses keluar masuk manusia di Papua. Sampai saat ini angka pasien positif terus meningkat dengan tingkat persentasi kematian di Indonesia sangat tinggi, salah satu yang tertinggi di seluruh dunia. Hal ini juga diakibatkan karena alat bantu pernapasan yang dibutuhkan untuk pasien kritis covid-19 jumlahnya juga terbatas Saya kembali ke cerita mengenai pembuatan parit sebagai ikhtiar utama mencegah penyebaran api, bayangkan kalau parit ini dikerjakan seorang atau dua orang saja? Tentunya parit ini tidak mungkin akan selesai dan mencegah api menyebar tepat pada waktunya, bisa jadi api keburu menyebar bahkan sebelum parit selesai di buat. Butuh gotong royong semua masyarakat untuk membuat parit ini, supaya tepat waktu mencegah api menyebar. Begitu pula situasi yang kita alami saat ini, berjuang melampaui ujian virus Covid-19 ini tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, butuh gotong royong untuk melakukannya sesuai dengan peran kira masing2. Untuk kita masyarakat kebanyakan seperti juga saya, minimal kita harus sadar dan gotong royong untuk melakukan physical distancing. Kita harus sadar virus ini ibarat kebakaran api yang tak terlihat yang dapat membumi hanguskan rumah kita dan membahayakan keselamatan diri, keluarga, dan orang-orang di sekitar kita. Mungkin kita masih berpikir acuh dan tidak peduli, berpikir situasinya saat ini masih tidak terlalu parah karena kasus positifnya masih sedikit, bepikir hanya ke diri sendiri dengan tetap memaksakan diri beribadah di rumah-rumah ibadah, berpikir mending WFH bersama keluarga di kampung halaman, atau berpikir saya masih muda dan kekebalan tubuhku cukup kuat. Percayalah, kesemua ini akan berbuah ke prilaku teledor kita yang berpotensi menyebarkan virus ini. Usaha gotong royong ini harus melibatkan kita semua. Terlepas dari ikhtiar pemerintah dan para pemangku kebijakan untuk menanggulangi wabah ini, gotong royong melawan virus ini juga bisa dilakukan dengan banyak hal. Saya sangat mengapresiasi apa yang dilakukan teman-teman saya di Teknik mesin, mereka inisiatif mebuat bilik disinfektan untuk tempat-tempat strategis dan rentan penyebaran virus. Juga apresiasi sepupu saya yang sedang berusaha menginisiasi bilik untuk melakukan rapid test virus covid-19 yang dapat membantu melindungi perawat/dokter melakukan test dengan aman. Juga sangat apresiasi banyak orang/organisasi yang sedang gotong royong mengumpulkan dana untuk mensupport kebutuhan-kebutuhan tenaga medis atau membantu kelompok rentan yang terdampak tidak langsung dari situasi ini. Saya percaya sekecil apapun kontribusi kita saat ini, bisa berdampak sangat besar untuk usaha gotong royong ini. Insyaallah Terlepas dari itu semua, mari senantiasa melibatkan Allah SWT dalam usaha-usaha bersama melampaui situasi ini, perbanyak doa dan istighfar, semoga Allah SWT lekas mengangkat ujian ini untuk kita semua. Seperti halnya saat masa-masa kekeringan, kita semua diminta berdoa agar Allah SWT segera menurunkan hujan sebagai wujud rahmat dan pertolongan-Nya. Waktu itu sore hari, setelah berbulan-bulan mengalami kekeringan dan sekolah diliburkan. Saya sedang membaca buku, agak terkantuk-kantuk, dan tiba saya mendengarkan suara langit menggelegar, saya berlari keluar rumah, dan setelahnya segala sesuatunya terasa begitu cepat hingga hujan pertama hadir menjawab doa-doa kami. Waktu itu saya menulis petikan apa yang saya rasakan berikut ini. Hari itu Gemuruh langit bangun kan ku, Sang Angin datang, kuat meniup pepohonan, kulihat awan bergerak seperti tayangan video yang dipercepat. awan awan kian menggelap, tetes tetes air hujan mulai turun perlahan. Hingga lautan air di langit seperti tertumpah indah ke bumi. Tak ku sadari, Iringan curahan hujan ke bumi di iringi dengan keluarnya tetesan air mataku. Kujumpai hujan terindah yang pernah kurasakan. Yang ku rasa seperti sihir di dalam mimpi. Setelah rangkaian panjang kekeringan kami alami, sang hujan datang menyembuhkan kehausan. Meresap ke celah retak tanah menyembuhkan luka di kulit bumi. Meresap ke retak hati mensucikan nya saat mulai ragu. Membalut goresan yg melukai tekad ku. Dan Menyapu kepulan asap, yg menjadi hijab kan rasa rindu.. Hari itu... ku langkahkan kaki ke tengah curah hujan.. sehingga tetesan air mata berpadu dengan curah tetesan hujan Saat itu kutahu Tuhan sedang menjumpai, lewat megah indah angin, awan, dan curah hujan Nya. telah kujumpai ayat-ayat yg tertulis megah di langit,. lewat sejuk hembusan angin, lewat lukisan lembut sang awan, dan curah kasih tetesan hujan.. Situasi ini memang berat kita alami, tapi seperti kekeringan yang akhirnya berakhir dengan turunnya hujan, percayalah Allah SWT akan menolong kita semua melampaui situasi berat ini. Tugas kita saat ini bersabar. Di banyak kesempatan saya sering menyampaikan memaknai sabar dengan lakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan disini dan detik ini, namun dengan catatan tidak sampai melampaui batasannya. Yang statusnya positif bersabar dengan rasa sakit yang dirasakan dan karantina yang dilakukan, yang masih sehat bersabar untuk jaga kebersihan, mengelola kebosanan saat berdiam diri di rumah, menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang dilakukan dari rumah, yang tidak bisa bekerja didalam rumah karena kebutuhan ekonomi juga harus bersabar menjaga diri selama bekerja, yang petugas medis bersabar dengan amanah mulia yang di embankan saat ini untuk membantu pasien dan menahan rindu untuk berjumpa dengan keluarga di rumah, para pemimpin negeri bersabar dengan menentukan dan mengeksekusi kebijakan terbaik menanggapi situasi ini, serta kita semua dengan bentuk kesabaran kita masing-masing. Semoga ada terpetik hikmah, dari tulisan refleksi ini. Semoga Allah SWT menganugrahkan perlindungan dan pertolongan-Nya untuk kita semua. Aroepala, 29 Maret 2020 Hari ke-10 karantina diri Therry Alghifary
Benar dan tepat sekali apa yang kak Therry tuangkan ini, sebelum diberlakukan lockdown dan libur kerja saya dihubungi kakak perempuan via whatsapp, ia melontarkan hadits riwayat Bukhari isinya sama. Balik lagi dalam diri pribadi kalau kita mengindahkan langkah ini artinya kita sadar untuk menyelamatkan orang lain. Kita biasa tidak menyadari apakah kita positif atau tidak. Jangan sampai ketika pulang kampung, berpelukan dan berinteraksi dekat dengan keluarga bisa saja kita dapat menularkan penyakitnya itu. Iya istilahnya asimtomatik ( penyakit yang tidak kita sadari secara gejala klinis kecuali medical check up. Kedua mindset kak, kalau mindset kekhawatiran berlebih dan panik yang panik berlebih akan mempengaruhi daya imun kita. Padahal pemerintah himbaukan untuk beraktivitas dirumah supaya dapat mencegah penyakit ini tapi sebagian masyarak…